Jelajahhukum.com|SUKABUMI - Dunia pendidikan di Kabupaten Sukabumi kembali tercoreng oleh dugaan praktik manipulasi data siswa. SMP Terpadu Al-Khoeriyah (NPSN 70040621) yang berlokasi di Kampung Batununggal, Desa Cikadu, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, diduga melakukan penggelembungan data siswa dan tumpang tindih dengan data siswa dari madrasah tsanawiyah (MTS) di sekitar wilayah tersebut, Jumat (19/09/2025).
Informasi yang dihimpun media menyebutkan, banyak siswa yang sebenarnya bersekolah di MTS, tetapi namanya tercatat sebagai siswa SMP Terpadu Al-Khoeriyah, dan juga sebaliknya Siswa yang bersekolah di SMP datanya tercatat di MTS.
Dugaan ini semakin kuat setelah pihak MTS mengaku bahwa sejumlah anak yang selama ini bersekolah di madrasah, justru muncul dalam daftar siswa di SMP tersebut serta sebaliknya siswa yang bersekolah di SMP ternyata tercatat di MTS pula.
“Yang lebih mencengangkan, saat kelulusan kemarin, ada siswa kami yang belajar penuh di MTS, tetapi ijazahnya keluar atas nama SMP,” ungkap salah satu sumber di lingkungan pendidikan yang meminta namanya dirahasiakan.
Pada tahun 2024 yang data tumpang tindih, sedangkan yang penggelembungan data pada tahun ini 2025, ada 49 siswa sedangkan saat awak media datang dan melihat jumlah real siswa/siswi yang ada tidak lebih dari 20.
Fenomena tumpang tindih data ini bukan hanya satu-dua siswa, melainkan hampir menyeluruh. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada upaya sistematis untuk memanipulasi jumlah siswa demi kepentingan tertentu, seperti pencairan dana bantuan pemerintah berbasis jumlah peserta didik?
Ironisnya, saat awak media mencoba meminta klarifikasi kepada kepala sekolah SMP Terpadu Al-Khoeriyah, pihak sekolah terkesan menyalahkan kepada pihak MTS . Sikap ini justru menimbulkan kecurigaan semakin besar di tengah masyarakat.
Lebih mencengangkan lagi, setelah awak media berhasil melakukan konfirmasi langsung kepada ketua yayasan dan kepala sekolah, keduanya justru secara terbuka mengakui adanya data residu atau tumpang tindih tersebut.
Bahkan, pernyataan mereka terdengar seolah-olah melegitimasi praktik tersebut. Ketua yayasan menyebut, “Kalau data di sini dihapus, berarti data di MTS juga harus dihapus.”
Pernyataan ini jelas mengisyaratkan sikap keras kepala dari kedua belah pihak. Alih-alih mencari solusi demi keabsahan administrasi dan masa depan siswa, masing-masing pihak justru tampak lebih mementingkan gengsi kelembagaan.
Seolah-olah persoalan data siswa hanya menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antar sekolah, bukan sebuah masalah serius yang menyangkut kredibilitas pendidikan dan nasib anak bangsa.
Inilah yang membuat publik semakin geram. Bagaimana bisa sebuah lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng moral, justru terjebak dalam permainan ego dan manipulasi data? Jika kepala sekolah dan yayasan sudah terang-terangan mengakui, maka apa lagi yang harus ditunggu pemerintah untuk segera turun tangan?
Pendidikan bukanlah panggung dagang yang bisa dimainkan dengan angka-angka fiktif. Setiap nama siswa adalah masa depan, bukan sekadar data untuk memperbesar jumlah murid demi pencairan anggaran.
Ditempat yang berbeda, Ketua DPD PPLHI Kabupaten Sukabumi I.Ramdan saat dimintai tanggapannya mengatakan, Jika mentalitas semacam ini dibiarkan, maka kita tidak hanya kehilangan integritas lembaga pendidikan, tetapi juga menggadaikan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan itu sendiri.
"Oleh karena itu, pemerintah daerah maupun pihak dinas maupun aparat terkait tidak boleh tinggal diam saja ketika terjadi hal-hal seperti ini. Ketika pengakuan sudah diucapkan terang-terangan, maka tindakan tegas harus segera diambil," ujarnya.
Sebab jika dibiarkan, lanjut I.Ramdan, praktik ini akan menjadi preseden buruk dan menular ke sekolah-sekolah lain, menjadikan pendidikan hanya sekadar permainan angka tanpa ruh kejujuran.
"Untuk itu, kami meminta kepada Inspektorat Kabupaten Sukabumi diminta untuk mengaudit SMP Terpadu Al-Khoeriyah," tegasnya.
(Hermawan)
Social Header